Friday, December 24, 2010

Anak

"Brengsek! Kadal! Dasar sundal!" Eryck memaki sambil membanting pintu rumahnya. Stelah itu menyambar kunci dekat pesawa telepon di atas bupet. Malam itu ia kembali meninggalkan Lanis, istrinya tidur sendirian.
Secylia tak bisa mencegah suaminya. Ia termangu. Malam kembali berwarna ungu.
Sudah yang kesekian kali Eryck memaki Lanis, dan meninggalkannya sendiri. Lanis, seperti waktu-waktu yang sudah akan menghabiskan malamnya sendiri. Maklum, sejak dinikahi Erick 15 tahun lalu, ia belum juga hamil.
Lanis yakin itu bukan karena kesalahan rahimnya. Menurut dokter, tak ada masalah pada dirinya untuk hamil. Bahkan, "Nyonya masij tergolong subur. Jadi sabarlah, mungkin saat ini Nyonya belum diberi kepercayaan oleh Tuhan," kata dokter Nazar Ibrahim Chaniago.
Tapi, sampai kapan Lanis harus bersabar? Ia sudah rindu sekali menimang bayi. Hal itu juga diakui kedua orang tuanya. "Ayahmu ingin sekali menggendong bayi darimu," kata ibunya suatu hari.
"Bukan, ibumu yang kepingin sekali. Setiap malam dia ngomongin kamu, kapan Lanis bisa bisa punya anak," potong ayah. "Yeaah, anak memang harapan setiap orang berumah tangga. Biarlah hidup miskin, tapi punya anak. Kan setiap bertemu orang yang ditanya, berapa anaknya, bukan berapa rumahnya. Iya kan?"
Sebetulnya Lanis ingin membantah anggapan kedua orang tuanya yang cenderung sudah kolot itu. Kini para istri, terutama aktivis perempuan, tak lagi menganggap keturunan adalah prioritas orang berkeluarga. Tidak. Bahkan, ada seorang aktivis perempuan mengatakan, nikah adalah masalah, sedang anak lebih besar masalahnya. Tapi, itu tidak ia ucapkan kepada orang tuanya. Ia khawatir, ayah dan ibunya akan terluka. Biarlah orang tuanya tetap menumbuhkan harapan dan impiannya, pikir Lanis, sampai suatu saat mereka akan melupakanya.
"Bagaimana mungkin akan bisa hamil? Ah, ibu pasti akan sedih kalau kujelaskan bahwa Eryck impoten. Mandul. Ibarat benih yang gabuk akan sia-sia ditaburkan di ladang yang subur sekalipun!" Desis Lanis.
Hanya saja, Eryck hingga kini tak mau menyadari kelemahannya. Ia selalu menyalahkan istrinya. Menuduh Lanis yang mandul, yang impoten. Tak bisa memberikan keturunan kepadanya. Padahal, demikian dokter Ridwan Nasution, yang masalahnya ada pada Eryck dan bukan Lanis.
"Kalau suami nyonya mau sedikit bersusah payah, sebetulnya bisa. Ia harus berani konsultasi kepada dokter kandungan, dan mau mengikuti saran dokter. Kalau tidak..." Dokter memberi saran pada Lanis.
Tapi itu masalahnya. Eryck terlalu kokoh dengan sikapnya. Ia selalu mengelak-bahkan emosi-jika disalahkan. Menurut Eryck, sejak kakek-neneknya hingga ayah dan ibunya, bahkan kakak serta adiknya yang telah berkeluarga, semuanya punya anak. Itu artinya, kalau Eryck mengatakan itu, dia lahir dari keturunan yang tidak mandul.
"Jadi, bagaimana mungkin aku tak bisa memberimu anak? Dasar kamu saja yang memang mandul!" Tuding Eryck.
Ingin rasanya Lanis menampar pipi suaminya sekeras-kerasnya. Betapa sakitnya tudingan-tudingan yang rak beralasan itu. "Apa kamu ingin bukti kalau aku bisa hamil?" Lanis bergumam.



*****

Dua bulan kini usia kandungan Lanis. Terakhir ia periksa ke dokter dua hari lalu, dokter mengatakan, keadaan kandungannya baik. Letak janin yang masih gumpalan darah juga dalam posisi bagus.
"Tak ada masalah. Asal nyonya mesti hati-hati. Jangan bekerja yang berat-berat, jangan terlalu lelah. Tapi juga jangan banyak istirahat. Ini hamil pertama loh harus di jaga baik-baik..." Pesan dokter Nazar Ibrahim Chaniago.
Dokter Chaniago memang terkenal sangat baik kepada setiap pasiennya. Apalagi kepada Lanis, pasien yang telah menjadi langganannya, sejak ia pertama kali menikah. Dokter itu pula yang menyarankan kepadanya agar mampunyai anak dulu baru ber-KB. "Bagaimana pun anak adalah cita-cita setiap orang dari pernikahan," kata dokter Chaniago.
Namun sialnya, Eryck malah mencurigai kehamilan istrinya bukan dia yang menanam benih. Tetapi hasil berselingkuh.
"Ya ampun!!! Sampai begitu kau menuduh istrimu? Kau ini lelaki macam apa? Tepatnya kamu itu kadal...!" Edo, teman karib Eryck di tempat kerjanya menuding. Tampak wajah Edo memerah. Hampir saja tangannya melayang ke pipi Eryck, kalau Eryck tidak cepat mengelak.
"Dulu kau menginginkan Lanis hamil dan melahirkan agar bisa memberimu anak, kamu bisa momong bayi. Nyatanya, begitu istrimu hamil malah kau berbelik menuduhnya berselingkuh. Aku jadi tak mengerti apa maumu. Aku mencurigaimu, kalau kamu itu sakit jiwa!" Edo menyambung.
Eryck terdian di kursinya. Wajahnya menunduk. Ia tak berani menatap sobatnya yang memandangnya dengan mata nyalang. Kamu tak akan pernah tau persis do, kenapa aku tak percaya bahwa istriku hamil karena dari benihku. Kamu mengetahuiku hanya sebatas luarnya, dan hanya aku yang mengetahui apa yang ada di balik yang tidak kamu ketahui.
Kalau saja aku berterus terang padamu bahwa aku....ah. Bahwa Lanis sebenarnya...ah, tak perlu kamu tahu lebih detail tentang keluargaku. Tapi, sekiranya itu semua kukatakan padamu, pasti kamu terbelalak. Sialnya, kamu akan menuduhku gila. Batapa sakitnya dicap gila padahal sejatinya aku waras?
Edo tak akan pernah tahu. Sama dengan keluarga Eryck, keluarga Lanis. Semua itu, selama ini, memang ia kubur dalam-dalam. Eryck malu kalau orang tahu bahwa ia memang tak bisa memberi apa-apa di dalam rumahnya, kecuali kemewahan. Kecuali kehormatan sebagai orang yang di segani di perusahaan karena jabatannya.
Namun apakan semua itu sudah cukup bagi sebuah keluarga? Pertanyaan yang kerap terlontar dari keluarga Lanis terus mengiang. Mengganggu. Membentur-bentur kesadarannya sebagai lelaki, sebagai suami. Betapapun waktu terus bergulir, sungguh pun usia terus menanjak menjadi renta, pertanyaan yang menjurus pengharapan menggendong bayi yang keluar dari rahim Lanis, seperti menuntut.
Siapa salah? Laniskah kalau kini ia bisa hamil dan beberapa bulan lagi akan melahirkan di dokter Nazar Ibrahim Chaniago? Atau Eryck yang ternyata masih tidak mau menerima kehadiran cabang bayi yang barada dalam kandunhgan istrinya?
Sudah lama. Sudah cukup lama, Eryck dan Lanis mengharapkan sekali keturunan. Berbagai cara, hingga ke orang pintar, sudah ditemui Lanis. Tetapi , harapan tinggal harapan. Impian hanyalah impian. Lanis tak pernah merasakan ada fetaran bayi dalam perutnya. Dan kini ia baru bisa tersenyum bangga. Ia bisa bercerita macam-macam pada teman-temannya, pada para tetangganya tentang bagaimana rasanya menjadi perempuan hamil.
"Bener lho, mbakyu. Si jabang bayi ini seperti menendang-nendang di perutku. Tapi ga sakit, geli. Seperti...." Cerita Lanis pada dian, tetangga sebelah rumahnya.
"Memang begitu, nis. Apalagi kalau jabang itu memang anak dari benih suami sendiri..."
"Maksud mbakyu?" Lanis seperti tersinggung ketika dian menekankan kata "benih suami". Ternyata bukan cuma Eryck yang mencurigaiku bahwa benih yang ku kandung ini bukan dari suamiku, tapi Dian dan mungkin juga banyak orang lain yang tak percaya. Ah....
"Ah...enggak. Maksudku, kamu beruntung. Suamimu sangat mencintaimu, sangat mengharapkan seorang anak. Jaga kesehatanmu, dik...."
"O iya, mbakyu. Eryck memang sudah lama menghapkan anak dariku. Ia malah sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk kelahiran anak pertama kami ini. Kemarin saja dia sudah membelikan tempat tidur khusus, kemarinnya lagi membelikan pakaian, dan berbagai mainan. Aduh..pokoknya rumahku seperti toko sekarang," jawab Lanis dusta. Sebab, tempat tidur, pakaian, dan mainan buat anak pertamanya sesungguhnya bukan Eryck yang membelikan. Tetapi dia, bahkan untuk persiapan persalinan kelak.
"Nyonya jangan sering melamun. Engga baik terhadap perkembangan janin," nasihat dokter Chaniago ketika melihat Lanis menerawang.
Tinggal menunggu waktu ia melahirkan. Pagi-pagi tadi ia di antar Adi, sopir pribadinya yang sejak kandungannya berusia 9 bulan, dia minta tidur di rumahnya. Lanis khawatir jika ia harus pergi ke rumah sakit karena ingin melahirkan pada tengah malam. Sementara Eryck acap kali jarang tidur di rumah.
"Saya engga melamun, dok. Tapi, sedang menikmati kebahagiaan bahwa sebentar lagi anak saya ini akan lahir. Dok, bukankah kebahagiaan yang tiada tara bagi seorang perempuan adalah bisa memberikan keturunan kepada suaminya?"
"Ya, benar. Sebab itulah yang diinginkan setiap manusia berumah tangga. Bisa memakmurkan bumi ini dengan tawa dan tangis anak-anak."
"Tapi, dok, kenapa banyak orang malah mengkhawatirkan lahirnya anak-anak. Mereka menganggap anak adalah beban."
"Ah, itu pikiran para aktivis, mereka yang berkarier di luar rumah. Hanya sikap arogan, sebab sesungguhnya hatinya merasa sepi."
"Begitukah?" "Buktinya, nyonya berjuang untuk hamil dan melahirkan. Karena nyonya tak ingin dikatakan istri yang tak mampu memberikan anak pada suami, karena nyonya tak ingin kesepian manakala suami tugas di luar. Iya kan?"
"Bukan cuma itu, dok. Saya ingin buktikan pada setiap orang bahwa saya tidak mandul, tidak impoten. Saya subur."
"Maksud nyonya? Tapi, sudahlah."
"Ah, ya sudah, dok, saya mau istirahat." Lanis tak ingin berpanjang-panjang cerita. Ia khawatir terlalu banyak bercerita, maka banyak pula yang dusta. "Kapan dok, saya melahirkan. Ko lama betul, sih?"
"Katanya mau istirahat, jangan tanya lagi," kata dokter Chaniago sambil meninggalkan pasiennya di ruang peristirahatan.


****


Tengah malam, tepatnya pukul 00.01, Lanis melahirkan. Bayinya mungil berambut keriting tebal, kulit berwarna putih halus, dan wajahnya sedikit mengambil wajah Eryck, langsung ditangani bidan Indri, bidan persalinan yang menjadi kepercayaan dokter Chaniago.
Bayi telihat sehat. Tanpa cacat. Tak sedikitpun mengambil wajah Lanis. Meski begitu Lanis sangat senang, bahagia. Ia kini bisa membuktikan dia bisa memberikan sesuatu "kekayaan" kepada Eryck, kepada keluarganya, kepada mertuanya. Betapapun ia mesti membayar mahal: tak bisa melihat wajah anaknya, juga wajah Eryck: apakah tersenyum ataukan malah lari begitu tahu anaknya mirip sekali dengan wajahnya, kecuali warna kulit dan rambutnya seakan mengadopsi dari Edo,sahabat suaminya.

No comments:

Post a Comment

Pak Edi pLis deeehh...

friday, 17 des 2010

kuliah hari ini amat menyebalkan...
pergi kuliah cukup dengan pulpen, bb dan headset.
dan benar tak ada yang menghawatirkan ...dosen hilang tanpa jejak..tugas proposal yang katanya mau di bagiin ga ada kabar sampe sekarang..,padahal gue ngarep banget coretan "A" di tugas gue, mpet deh!!! modal nekat deh gue ngadep...''pak emang proposal ga ada yang bener sesuai yang bapak mau??"...sewot dikit abis gue sebel.."iya ga ada satu pun.." anjrid...dalam hati gue penasaran.."masa si pak??" eh tu dosen nunjukin proposal yang beliau buat, rasa-rasanya sama ah ama yang gue buat.., yaudah dari sewot ampe nyolot gue ngomong..."pak saya buat sama persis kaya begini pak...!!!" karna print outnya udah dikumpulin gue coba ajak ngobrol tu dosen sambil ngasih tau proposal gue...,syukur gue punya copy-nya di bb..,"ini proposal siapa?" yahelah dia pake nanya lagi dalem hati gue...sabar buuu.."ini punya saya pak.."..."ya yang saya maksud seperti ini, oke nama kamu siapa?tanya dosen belaga kaga tau..et da yak gua mah!! "risye marliana pak"jawab gue dengan nada mulai datar..."bagus, kamu ga perlu ngulang dan lanjut ke bab 2 dan 3". ''Makasih pak..,trus proposalnya kapan dibagiin pak??" "ya nanti saya kondisikan" cape dweeehh pakk....!!!!!!!!!!
ini ni yang kadang buat gue males kuliah...
tapi gue demen ama cara tu dosen ngajar, asik...man